Perhelatan Academy Awards dua tahun belakangan ini dirundung isu “Oscar So White” merujuk daftar nominasi yang “dikuasai” pegiat film Hollywood berkulit putih. Ujungnya, beberapa artis melakukan aksi boikot.
Isu yang sama juga sempat merundung sebuah perhelatan bertaraf internasional di Tanah Air, Bali Spirit Festival. Para partisipan acara tahunan yang diadakan di Ubud ini kebanyakan berkulit putih.
Kadek Gunarta, co-founder dan cultural liaison Bali Spirit Festival, tak menampik kenyataan ini. Bahkan saking putihnya, menurutnya, tak jarang orang menyebut acara tahunan ini “so Californian.”
“Kebetulan komunitas yang lebih banyak melakukan pencarian spiritual berasal dari Barat,” katanya. “Tapi saya juga menghadirkan presenter dari Amerika, guru yoga dari Jamaika dan lain-lain.”
Kebanyakan wisatawan, terutama solo traveler, menurut Kadek, berasal dari Barat. Namun para partisipan festival ini sebetulnya sudah cukup beragam, dari Indonesia, China, Eropa, Australia, Amerika, Afrika.
“Intinya, kami tidak ingin terlalu membedakan. Kita semua sama, semangat mencari kesadarannya sama, perbedaannya hanya pada warna kulit,” kata pria yang juga dikenal dengan nama I Made Gunarta.
Dari tahun ke tahun, Kadek dan tim selalu menghadirkan presenter, pengajar, penampil asal Indonesia di acara yang memadukan yoga, tari, musik dan seni ini, antara lain Didik Nini Thowok dan Pujiastuti Sindhu.
Semangat Bali Spirit Festival sendiri, sebagaimana ditegaskan Kadek, adalah menciptakan acara di mana orang bisa mendapatkan pengalaman luar biasa dan inspirasi. Spirit yang mendekatkan partisipan dengan masyarakat dan alam.
“Spiritnya, kita harus memelihara hubungan itu [dengan masyarakat dan alam],” Kadek. Selain mengikuti rangkaian acara Bali Spirit Festival, para partisipan bisa mendukung acara penggalangan dana dan aksi sosial.
Makin lama, makin banyak orang yang tertarik dengan konsep mulia ini. Setelah sembilan kali diadakan, terhitung sejak 2008, acara ini membentuk komunitas, yang dianggap Kadek layaknya keluarga besar sendiri.
“Surprise melihat orang-orang datang ke sini, 50 persen muka lama, jadi sudah tidak asing lagi. Bagi mereka, acara ini sangat menggugah. Bahkan ada cancer survivor yang mengakui acara ini mengubah hidupnya.”
Diakui suami Meghan Pappenheim, co-founder dan executive producer Bali Spirit Festival, kebanyak partisipan adalah kalangan berada. Harga tiket day pass sampai full pass berkisar antara US$ 156-895.
“Tapi dari sisi spiritual, kepuasan batin, mereka tidak punya. Sementara di sini, semua orang membahas, mengedukasi dan menanamkan perilaku spiritual. Inilah yang mengajak mereka untuk datang,” kata ayah dua anak ini.
Meghan sempat terbahak saat mendengar isu Bali Spirit Festival “so white.” Dengan nada canda, ia menyatakan, “Wah, itu bisa jadi hashtag yang bagus. Hahaha.” Terlepas dari isu tersebut, ia menekankan poin utamanya.
“Poin utama acara ini untuk menginspirasi,” kata Meghan di Ubud, pada Minggu (3/4). Sebagai acara perdana yang digelar di Indonesia, menurut Meghan, Bali Spirit Festival, bersifat “menular.”
Semula, ia mengundang kawan-kawan pegiat yoga di Jawa untuk datang di acaranya. Lambat laun, acara serupa mulai menjamur di Jawa, terutama Jakarta dan Bogor. Menurutnya, hal ini termasuk “penghematan.”
“Kalau festival yoga sudah ada di kotanya di Jawa, buat apa mereka jauh-jauh ke Bali. Kalau festival yoga di Bali lebih banyak partispan bule, what can I do. Tapi sisi bagusnya, orang kulit putih yang datang ke sini jatuh cinta pada Indonesia.”
Komentar